Rabu, Juli 14, 2010

Awal Pertemuanku Dengan Fransiska Indonesia

Jakarta, 18 Tahun Silam

Pagi ini adalah pagi pertamaku (Budi Afriaz – seorang anak kecil
dengan kenakalan yang melebihi batas kewajaran anak seusianya)
melakukan aktifitas akademik. Pagi ini dimana seorang perempuan
berumur 25 tahun “Ibuku” mulai sibuk mempersiapkan segala
sesuatu yang harus dibawa anak pertamanya ke Sekolah Taman
Kanak-kanak. Sekolah dimana banyak sekali permainan dan hal-hal
yang seharusnya sangat disenangi anak kecil seusiaku.


Ayahku juga ikut kena imbasnya. Dengan mata yang masih berair
karena kurang tidur akibat harus bekerja keras sampai malam demi
menghidupi Istri dan kedua anaknya, ia harus bangun memanaskan
mesin mobil Datsun abu-abu yang akan digunakannya untuk
mengantarkan anak kecil nakal tersayangnya itu pergi ke sekolah.


Kami pun berangkat dengan kaca mobil sengaja terbuka supaya kami
bertiga bisa menghirup segarnya udara pagi di sepanjang daerah
permata hijau yang masih sejuk. Kesejukan yang diciptakan dari
rindangnya pohon-pohon besar dan kebun sepetak milik penduduk
sekitar. Kesejukan yang cukup memberikan semangat Ayahku untuk
menjalankan Mobil Datsun abu-abu tidak ber-AC nya menuju
sekolahku. Hmmm, mungkin ini adalah alasan tepatnya kenapa Ayah
selalu senang mengendarai Mobil kesayangannya dengan kaca
terbuka. Ya, mobil Ayah tidak memiliki AC.


Tibalah saya di sekolah Taman Kanak-kanak Srikandi. Begitulah
tulisan merah yang tertera di papan triplek putih dengan mudahnya
aku baca. Ya, jauh sebelum masuk TK aku sudah bisa membaca. Ini
karena Ayah suka mengajariku membaca. Apapun tulisan yang Ayah
tunjuk pasti dengan cepat dan mudah bisa aku baca. Mulai dari
plang-plang (papan penunjuk apapun) di pinggir jalan sampai
tulisan romantis yang ada di stiker hadiah langsung buku teka-teki
silang yang sering dibeli Ayahku, dengan mudahnya bisa aku baca.
Dalam hal ini, aku tidak bermaksud sombong, tapi memang
begitulah adanya. Memang begitulah kenyataannya Ayah
mengajarkanku untuk tidak apa-apa menjadi anak laki-laki yang
nakal asalkan jangan jadi orang bodoh.


Lonceng masuk mulai dipukul oleh salah satu guru kalau tidak salah
namanya Ibu Maryam sebagai tanda masuk ke dalam ruangan yang
tidak begitu besar yang tak lain adalah tempat pertamaku menimba
ilmu.


Sebelum masuk kelas, kami pun berbaris. Satu persatu kuku kami
diperiksa oleh Bu Guru. Oiya, semua guru di sekolahku ini adalah
perempuan termasuk kepala sekolahnya. Tibalah gilirannya aku
yang diperiksa. Oh tidaaak, kuku ku cukup panjang dan bisa
dikatakan melanggar tata tertib syarat masuk ke dalam kelas. Pagi
ini adalah pertama kalinya aku dihukum di sekolah karena kuku
tangan yang masih panjang dan harus mengenakan sarung tangan
sebagai tanda yang sangat mencolok kalau aku berkuku panjang.
Benar-benar pengalaman pertama di sekolah yang sangat
memalukan.


Nama-nama pun mulai dipanggil oleh Guruku, dan kami pun satu
persatu mengacungkan tangan kanan sambil berdiri dan berteriak
selantang-lantangnya ”hadiir Bu Guru”. Baiklah, sepertinya hanya
empat orang anak laki-laki yang bersekolah di Taman Kanak-kanak
di TK Srikandi. Hari, Alfian, Rudi dan aku sendiri Budi. Mungkin
karena ini dinamakan Taman Kanak-kanak Srikandi yang dalam
dunia pewayangan Srikandi itu adalah seorang wanita, namun
karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria. Dewi Srikandi
sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam
mempergunakan senjata panah. Nah mungkin karena itulah semua
guru termasuk kepala sekolahnya perempuan. Dan murid-muridnya
kebanyakan perempuan. Tapi kami berempat (Hari, Alfian, Rudi dan
aku sendiri Budi ) tetaplah laki-laki yang normal dan akan menjadi
perkasa 15 tahun lagi. “tapi ga tau juga deng, Alfian terlihat sedikit
lebay kalau menurutku.. hehehe”.


Tak terasa sudah satu jam kami melewati aktifitas belajar di Sekolah
Taman-kanak Srikandi dengan bernyanyi. Kami menyanyikan
beberapa tembang yang cukup populer di kalangan anak berumur 5
tahun pada masa itu. Potong bebek angsa, Lihat kebunku, Pelangi-
pelangi, Naik Kereta Api, Oh Ibu dan Ayah selamat pagi dan Topi
saya bundar. Oiya, di TK Srikandi semua muridnya mengenakan
seragam berwarna oranye lengkap dengan dasi dan topinya yang
bundar. Dan warna oranye ini tidak ada hubungannya dengan Tim
Sepakbola asal ibukota yang baru saya tahu kalau namanya Persija
setelah umur saya bertambah 8 tahun. Tapi kami cukup terlihat
seperti Pasukan kesebelasan Persija junior yang sedang digembleng
untuk menjadi pemain bola hebat yang kenyataannya sampai saat
ini masih belum terlihat seperti itu.


”Tok..tok..tok..” Suara pintu diketuk dan terlihat sosok perempuan
seumuran denganku tampaknya, cantik mungil berkulit putih masuk
ke dalam kelas. Sendirian?? Ya, dia sendiri. Dan sepertinya dia
adalah salah satu murid baru yang juga ingin belajar di TK Srikandi.
Sepertinya dia benar-benar datang sendiri ke sekolah ini, tanpa
diantar oleh Ibu, Ayah atau orang yang lebih tua darinya. ”hhmmm,
berani juga ini anak” begitu gumamku dalam hati.


Ibu Maryam dengan lembut menanyakan nama anak itu. Anak itu
tak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Tidak mengeluarkan
suara sedikitpun kemudian menunduk. Oke, perempuan itu tidak
memiliki nama. Padahal awalnya aku sudah membayangkan sebuah
nama yang cantik, secantik wajah mungilnya.


”ya sudah, kamu duduk disamping Hari ya?” Ibu Maryam sambil
menunjuk ke arah bangku kosong yang disampingnya adalah
temanku Hari.


”ssstt.. Har.. Har, tukeran tempat duduk yuk?” Hari pun beranjak
dari tempat duduknya dan aku pun kini sudah berada disamping
perempuan manis dan mungil tanpa nama itu.


Dengan keberanian besar dan mengesampingkan rasa malu aku pun
menghantarkan tangan untuk berjabat tangan sebagai awal dari
berkenalan. ”Kenalin, nama aku Budi, Budi Afriaz. Nama kamu
siapa?”. Jantungpun berdegup kencang. ”Baiklah, kalau kau tak mau
menjawab dan menghormati keberanianku untuk berkenalan
denganmu” gumamku dalam hati.
Ternyata dia menjawab jabat tanganku tanpa melihat wajahku tapi
malah melihat ke tanganku yang aku pun baru menyadarinya,
ternyata aku masih memakai sarung tangan. Dan akhirnya
terdengar suara halus yang dari tadi sangat aku nantikan keluar
dari dalam mulutnya. ”Fransiska, Fransiss.. ka.. In.. in.. indonesia”
hah! Pertama kalinya aku mendengar ada nama yang aneh seperti
itu. Baiklah, ternyata dapat aku simpulkan kalo dia memang cukup
malu untuk menyebutkan nama aneh itu. Pantas saja dia hanya
menggeleng ketika tadi Ibu Maryam menanyakan namanya di depan
kelas. Fransiska Indonesia. ”hhhmmm.. nama yang aneh tapi cukup
memiliki arti besar didalamnya”.


”Siapa yang mau bernyanyi ke depan kelas??” Tanya Ibu Maryam
kepada murid-muridnya dengan suara yang lumayan keras dan
cukup mengagetkanku, karena untuk beberapa saat aku terpana
oleh cantiknya wajah perempuan yang duduk di sebelahku. Tiba-tiba
dan tak tau kenapa, aku pun berdiri dan tanpa susah-susah lagi
disuruh untuk maju ke depan seperti kebanyakan mahasiswa
sekarang yang entah kenapa tidak cukup bernyali untuk berbicara di
depan kelas, aku beranjak dari tempat duduk ku.


Aku pun kini sudah berdiri di depan kelas. Mengambil posisi tegap
dengan tangan yang masih memakai sarung tangan sambil
diletakkan disamping badan dan bersiap-siap untuk menyanyikan
sebuah lagu yang aku harusnya aku sudah hapal. Mulai lah Ibu
Maryam memberikan komando kepada anak-anak yang lain untuk
bertepuk tangan sebagai pengganti alat musik bernada
mengiringiku bernyanyi.


“engkau yang cantik, engkau yang manis, engkau yang manja.
Selalu tersipu rawan sikapmu dibalik kemelutmu
Dirama kabutmu di tabir mega-megamu
Kumelihat dua tangan dibalik punggungmu”
Dengan lantang ku bernyanyi dan kemudian tanganku bergerak
sambil menunjuk ke arah seorang anak perempuan yang sedang
bengong melihat tingkahku, dan aku masih bernyanyi.


“Madu di tangan kananmu.. Racun di tangan Kirimu..
Aku tak tau mana yang akan kau berikan padaku”
Aku pun menunjukkan gestur menggelengkan kepala yang
menjelaskan kalau aku sedang tidak tahu sambil menggerakkan
kedua tangan ke dada ku sebagai gestur penguat kata ‘padaku’.


Oooh tidaaaak. Lagu apa yang telah aku nyanyikan?? Kenapa lagu
itu dan kenapa bahasa non verbalku terlihat begitu memalukan di
depan kelas?? Aku kenapaaa?? Aku juga tak tahu. Dan ternyata, aku
baru saja menyanyikan lagu yang seharusnya tidak dinyanyikan pleh
anak kecil seusiaku.


Ya, itu adalah lagu Madu dan Racun yang sering dibawakan oleh
Arie Wibowo. Seorang penyanyi Indonesia dengan penampilan yang
cukup nyentrik, senang mengenakan kacamata hitam ketika
bernyanyi dan selalu setia menggunakan piano casio kecil seperti
akordion tetapi bergagang menyerupai gitar. Dia lah penyanyi
kesukaan ku. Tidaaak, dia adalah penyanyi kesukaan Ibu ku. Dan
hampir setiap pagi, siang dan sore Ibu menyetel lagu-lagu Arie
Wibowo di radio tape nya dengan keras. Akibatnya telinga anak kecil
yang seharusnya lebih sering mendengarkan lagu pinokio-pinokia
boneka kayu yang lucu harus mendengarkan lagu-lagu seperti itu.


“Buahahahahahahahaha...!!!”
Seketika itu juga terdengar gelak tawa meledak-ledak temanku.
Karena aku baru saja menyanyikan lagu orang dewasa. Lagu yang
seharusnya tidak aku nyanyikan di depan kelas ini. Dan untuk
pertama kalinya, aku sudah membuat seorang anak perempuan
menangis di sekolah. Dia menangis mungkin karena malu aku
tunjuk-tunjuk sambil membawakan tembang populernya Arie
Wibowo yang ternyata itu adalah lagu orang dewasa, atau mungkin
malu karena ditertawai oleh teman-teman ku, mungkin juga dia
takut karena ini adalah kenyataan dan bukan mimpi.


Anak perempuan yang menangis sambil menutupi wajah malunya
itu adalah Fransiska, teman sebangku ku di Taman Kanak-kanak
Srikandi. Fransiska, gadis pemberani yang datang ke sekolah ini
sendiri tanpa diantar oleh orangtuanya. Fransiska Indonesia yang
memiliki nama aneh namun wajahnya sangat manis dan cantik.
Fransiska Indonesia yang ternyata bisa jadi aku menyukainya

Tidak ada komentar: