Cerita ini berawal dari sebuah pertemuan yang tidak mengasikkan di kelas Taman Kanak-kanak Srikandi. Pertemuan yang sangat memalukan kalau boleh disimpulkan. Pertemuan antara Budi Afriaz kecil dengan Fransiska Indonesia yang manis intinya. Dan sekarang, kami pun telah berteman.
Siang hari, sepulang sekolah, aku (Budi Afriaz) dengan Fransiska Indonesia tidak diijinkan untuk langsung pulang ke rumah oleh Ibu Maryam. Katanya ada latihan khusus menggambar untukku dan latihan membaca puisi untuk Fransiska. Memang, akhir-akhir ini aku dan Cika (panggilan akrab Fransiska) sering mengikuti perlombaan di tingkat kecamatan untuk mewakili TK Srikandi. Dan semenjak perlombaan itu, kami (aku dan Cika) sering bersama-sama. Mulai dari berangkat sekolah, istirahat, pulang sekolah. Dan kini, kami harus bersama-sama latihan di rumah Ibu Maryam.
”Kita jalan kaki aja yuk ka?!”
”Tapi kan jauh Bud, aku ga kuat.” Cika agak sedikit mengeluh.
”Ahh.. deket kok. Gue tau jalan motong yang deket. Tenang aja lah.” Seperti orang dewasa atau bisa dikatakan sok dewasa, aku berusaha meyakinkan Cika yang memang dari tadi sudah terlihat sangat lelah. Apalagi ditambah ukuran tas yang dibawanya tidak seimbang dengan badannya yang mungil itu.
Ya, aku memang agak terlihat sok dewasa jika dibandingkan dengan teman-teman TK-ku yang lain. Mungkin karena lingkungan tempat aku bermain di rumah. Memang, aku lebih banyak berteman dengan yang lebih tua. Di usiaku yang baru 5 tahun ini, aku sudah berteman dengan siapa saja di lingkungan rumah. Kebanyakan anak-anak yang sudah duduk di bangku kelas 5-6 SD sampai SMP kelas tiga, termasuk Pak Tarman penjaga keamanan lingkungan rumah dan Pak Muji seorang kusir delman menjadi temanku. Apa saja aku tanyakan kepada mereka, dari mulai hal yang aku tidak tahu sampai hal yang mereka pun juga tidak tahu. Ya, itulah mengapa aku sedikit sok tua dari kebanyakan anak-anak seusiaku. (inget ya!! Sedikit lebih tua lho... dan hanya perilakunya aja... bukan umurnya... wakakakakakakaka)
”Duuh, kok kita belum sampe-sampe juga yah?” Cika agak sedikit emosi.
”Sabar dong! Gue juga lagi nginget-nginget lagi lewat jalan mana yah, gue lupa nih.” aku pun juga ikut emosi.
”Jadi kamu lupa?? Ahh, tau gitu aku ikut bareng sama Ibu Maryam aja deh tadi.” Cika menghentikan langkahnya.
”Oh, jadi lu pengen gue jalan sendirian? Tega banget lu!! Udah, ayo jalan lagi!!” Kali ini aku yang emosi.
Dengan berjalan kaki hampir sejauh 3 km, akhirnya kami sampai di rumah Ibu Maryam. Benar-benar perjalanan yang sangat melelahkan buat anak seumuran kami. Ditambah lagi selama perjalanan kami bertengkar. (bukan gue sih yang mulai, tapi gue yang jadi paling emosi akhirnya)
Rumah Ibu Maryam tidak terlalu besar, tapi memiliki halaman yang luas tanpa pagar dan banyak pohon di sekitar pekarangan rumahnya. 5 meter di depan rumah Ibu Maryam terdapat bale-bale yang akhirnya aku gunakan sebagai tempatku latihan menggambar pada siang itu. Siang itu, tidak terlalu terik, cuacanya lumayan mendung dengan angin yang tidak terlalu kencang dan sinar matahari yang berusaha menyelinap ke arah tempatku menggambar melewati celah-celah rindangnya daun pohon.
”Ini Bud teh nya, kata Bu Maryam kamu latihan di sini aja, aku di dalam, katanya takut ganggu kamu lagi gambar. Soalnya aku kalo latihan puisi suka teriak-teriak. Nanti kalo udah selesai gambarnya, kamu disuruh masuk, kasih liat Ibu.” Cika mengantar segelas teh dan sebuah amanat dari Ibu Maryam kepadaku.
”Iya deh.” akupun mengangguk.
Cika pun berlalu meninggalkan aku yang sendirian di bawah pohon nangka rindang, di atas bale-bale bambu buatan Pak Sofyan suami Ibu Maryam. Akupun masih memperhatikan Cika yang berlalu sampai akhirnya menghilang dari pandanganku. Sejenak akupun berpikir, Cika itu sebenarnya anak baik. Sayang, sifat tak sabarannya itu yang menjadi kekurangan buatku (Loh?? Kenapa buatku?? Emang ada apa sih nih?? Hahaha). Dan aku kembali meneruskan gambarku yang sempat terhenti.
Aku memang senang sekali menggambar. Kata Ibuku, dari kecil aku memang sudah senang mencoret-coret apapun di rumah. Mulai dari kertas-kertas kosong yang sengaja dibelikan ayah untukku, buku arisan Ibuku, berkas-berkas penting ayah, tembok rumah, lemari pakaian, lantai, layar televisi sampai mukena Ibuku. Setiap harinya, ada saja perbuatanku yang tidak jauh dari yang namanya mencoret-coret yang menggemparkan semua orang di rumah. Oh iya, aku ingat, aku pernah mencoret muka adikku ”Yoka” dengan gincu Ibuku yang warnanya sangat merah menyala. Sampai gigi adikku pun aku coret dengan gincu merah Ibuku. Mungkin bakat seniku bisa dikatakan dimulai dari hal-hal konyol, sepele dan sangat tidak ada nilainya pada waktu itu. Yang ada hanya membuat marah Ayah dan Ibu setiap harinya. Tamparan gulungan koran, cambukan sapu lidi sampai diikat dengan keadaan telanjang bulat di pohon pisang halaman rumah merupakan santapan sehari-hari buatku. Anehnya, Ayah masih saja membelikanku alat-alat gambar lengkap pada waktu itu.
Akupun tidak akan menceritakan masalah kenakalan-kenakalanku yang bisa menjadi berpuluh-puluh halaman nantinya. Aku akan menceritak itu semua di lain kesempatan, di cerita pendek yang lain nantinya. Sekarang kembali ke sebuah bale-bale bambu buatan Pak Sofyan, ke bawah pohon nangka yang pada siang itu menjadi studio gambar dadakan buatku.
”daaaaaarrrrr..” Suara petir menggelegar sangat keras.
Seketika itu juga hujan mulai turun. Tak kenal kompromi. Tak tahu kalau aku sedang berada di luar rumah dengan beberapa peralatan gambar yang agak berserakan di sana-sini yang membutuhkan cukup waktu untuk memberesinya.
”Cikaaaa.. ambilin gue payung doong..” Akupun berteriak kencang ke arah rumah Ibu Maryam.
Beberapa menit kemudian, setelah aku membereskan alat-alat gambarku, Cika datang menghampiriku dengan payung merah yang sangat besar. Dari tadi, apapun yang dipakai Cika terlihat sangat besar, mungkin karena postur badannya yang sangat mungil, jadi apapun yang dikenakannya selalu terlihat kecil.
Aku pun melompat ke arah Cika sambil kemudian ikut membantunya memegangi gagang payung merah yang dipegangnya.
“Makasih ya Cik”
“Iya Budi. Eh, kamu disuruh ganti baju tuh sama Ibu Maryam” Cika menunjuk ke arah kamar Ibu Maryam.
“iya iya…” Aku langsung berlari ke kamar Ibu Maryam.
Aku pun sudah berganti baju. Sepertinya baju ini terlihat kecil dan cukup sempit buatku. Jelas saja, baju yang aku pakai ini adalah baju Dodi anak Ibu Maryam yang masih berusia empat tahun. (apa mungkin memang badanku saja yang besar?? Udahlah, ga usah dibahas juga kan..) Dan sekarang, aku melanjutkan kembali gambarku yang mungkin sudah selesai kalau saja tadi hujan tidak turun.
Aku kembali menggoreskan crayon warna yang sesekali Ibu Maryam mengawasi dari kejauhan sambil memberikan komando kepadaku.
“Kalau menggambar itu harus disiplin. Ga boleh buru-buru biar hasilnya bagus. Gak boleh kotor. Hati-hati ingusmu nanti netes ke kertas gambar.” Suara Ibu Maryam terdengar dari balik tembok.
”Cerewet... Emang ngegambar itu gampang apa??” Jawabku dalam hati.
Aku sangat serius menggambar. Bukan karena diawasi Ibu Maryam, tapi memang menggambar adalah salah-satu kegiatan yang sangat aku senangi dan seriusi selain memanjat pohon, berenang, bernyanyi, bermain ketapel, membaca, mengusili adikku, dan membuat jebakan di sekitar halaman rumah. Menggambar bisa membuatku menuangkan apa yang sedang ada di kepalaku tapi tidak bisa diwujudkan di kenyataannya. Seperti, aku bisa terbang sampai ke langit, aku bisa bermain sepatu roda, aku bisa mengemudikan kereta api, aku bisa naik di atas gajah, aku bisa mengenakan topi polisi sambil menembakkan pistol ke atas, aku bisa berdiri di atas satu tangan, aku bisa membangun gedung-gedung bertingkat walaupun tidak pernah lurus bangunannya, dan apapun yang sedang ada di pikiranku saat itu bisa aku tuangkan seketika dengan menggambar walaupun medianya harus mukena Ibuku.
Sore sudah mulai datang. Langit mulai gelap. Hujan masih saja deras. Aku masih saja sibuk mencoret-coret kertas gambar dan Cika pun terlihat lelap pulas di atas sofa beludru yang terletak di ruang tamu rumah Ibu Maryam. Cika terlalu lelah setelah hampir dua jam berteriak-teriak tidak jelas dan emosi sekali membacakan puisinya yang berjudul ”Layang-layangku ke surga” yang akhirnya berhasil menggangguku pikiranku, karena aku pun ikut hapal bunyi tiap bait puisinya itu. Awalnya, aku juga tidak tahu apa yang ada di pikiran Cika. Menciptakan puisi yang sangat tidak masuk akal itu. Mana mungkin layang-layang bisa panjang benangnya sampai menyentuh surga. Tapi, sekarang, pada saat aku merangkum cerita ini, aku baru mengerti maksud puisi tersebut. Cika ingin memberikan sebuah doa kepada Ibunya yang dari kecil sudah pergi meninggalkan dirinya yang sekarang tengah menantinya di surga.
Itulah salah satu kelebihan Cika. Seorang gadis kecil yang baru hidup di dunia berusia seumur jagung tapi bisa membuat puisi yang sangat indah untuk Ibunya. Kebanyakan puisi yang dibuatnya selalu bertemakan tentang kerinduan kepada Ibunya. Tentang sebuah anak kecil yang sangat merindukan kasih sayang seorang Ibu. Dan itu hanya bisa ia wujudkan dalam bentuk syair-syair puisi yang sempat aku katakan tidak masuk akal. Seperti halnya aku, menjadikan menggambar sebagai sebuah media yang untuk menuangkan hal yang mungkin tidak bisa diwujudkan pada kenyataannya. Tapi, apa yang aku inginkan kebanyakan adalah hal-hal yang sangat konyol. Tidak seperti keinginan Cika yang sangat tulus itu.
Gambarku pun sudah selesai. Lama sekali proses pengerjaannya. Karena kertas yang aku gunakan untuk menggambar itu sangat besar yang sekarang baru aku tahu kalau ukuran kertasnya adalah A2. (Gila, ini mah bukan lomba gambar, tapi lomba buat poster. Haha ) Aku menghampiri Ibu Maryam yang sedang memasak di dapur sambil membawa kertas gambar yang tadi masih putih bersih dan sekarang sudah berwarna-warni aku gores dengan crayon gambar pemberian Ayahku.
”Hmmm... bagus, tapi masih ada yang salah. Kamu masih tidak disiplin. Masih ada goresan yang keluar garis. Ya sudah, kamu buat satu lagi, tapi harus rapi ya.” Ibu Maryam mengomentari hasil gambarku sambil mengelus-elus kepalaku.
”Tapi saya capek bu. Saya mau istirahat dulu. Cika aja tidur tuh, gak latihan lagi” Aku berusaha memprotes perintah Ibu Maryam.
”Cika udah hampir sempurna baca puisinya. Lagipula suaranya udah hampir serak. Kalau kamu, masih harus banyak latihan, masih belum disiplin. Hasilnya aja masih seperti ini.” Ibu kembali melawan kata-kataku.
”Masa istirahat bentar aja gak boleh. Kalo gitu, saya ga jadi ikutan lomba aja deh.” Aku kembali mengeluh.
Ibu Maryam hanya tersenyum melihat tingkah lakuku seperti itu. Dan mendekatkan wajahnya ke mukaku dan kemudian berkata.
”Budi pasti bisa. Suatu saat nanti, kamu pasti bisa jadi orang hebat dan ngajarin cara menggambar yang baik ke anak-anak yang lain. Budi akan masuk TV kayak Pak Tinosidin. Dan Ibu sama Ayahmu pasti akan sangat bangga dengan itu.” Dengan sangat lembut Ibu Maryam menyemangatiku yang sudah hampir habis tenaga ini setelah hampir seharian menunduk sambil menggores-gores kertas gambar besar berukuran A2.
”Ya udah, kamu gambar di kertas yang kecil aja ya? Kertasnya ada di bawah meja tamu.” Ibu Maryam kembali memerintahku untuk menggambar lagi.
Aku pun kembali beranjak ke ruang tamu dan mengambil kertas gambar yang katanya kecil itu tapi tetap saja besar yang baru sekarang aku tahu kalau ukuran kertas itu adalah A3.
Aku tidak kurang akal. Aku gunting kertas gambar itu menjadi dua bagian supaya lebih kecil dan tidak membutuhkan waktu lama untuk memenuhi ruangan putih kertas gambar itu. Ternyata benar, hanya setengah jam aku berhasil membuat dua kertas putih itu menjadi penuh warna dan aku pun kembali menghampiri Ibu Maryam yang masih memasak di dapur sambil membawa salah satu kertas yang aku gunting menjadi dua bagian tadi, dan yang satunya aku tinggal di ruang tamu.
“Ini Bu… udah selesai… saya istirahat yah?” Aku menunjukkan hasil gambarku kepada Ibu Maryam dan sedikit mengecilkan suara seolah sudah letih berat.
“Bagus… hmm... tapi kenapa kertasnya kecil yah??” tanya Ibu Maryam sambil mengernyitkan dahinya.
“Lah… kata Ibu, saya disuruh gambar di kertas yang kecil.” Aku berusaha meyakinkan Ibu Maryam.
”hmmm... iya... iya... ya sudah, kamu istirahat sana... bangunin Cika... suruh mandi, abis itu kita makan malam” Ibu Maryam menyuruhku sambil tersenyum.
Aku membangunkan Cika yang sangat pulas tidurnya. Sebenarnya aku pun tidak tega membangunkannya. Mungkin di alam bawah sadarnya itu, dia sedang bermimpi bermain layang-layang bersama Ibunya. Tapi apa boleh buat, aku harus membangunkannya. Karena sore sudah mulai berganti malam dan dia juga belum makan sejak tadi ketika jam istirahat di TK Srikandi.
”Cik... Cik... Cikaaa... Bangun Cik!! Disuruh mandi tuh, abis itu kita makan...” Aku berusaha membangunkan Cika yang terlihat sangat manis ketika tidur sambil sesekali menepuk-nepuk pipinya yang putih dan halus itu.
”hoaaaaaaammmm... mmmmph...” Cika pun bangun dan agak terkejut. Entah apa yang membuatnya terkejut, aku juga tidak tahu.
”Eh iya Cik, sini deh bentar...!!” Aku memanggil Cika yang sudah hampir masuk ke dalam kamar.
”Nih buat lo...!!” aku menyodorkan sebuah kertas gambar kepada Cika.
Sebuah kertas gambar yang tadi aku gunting menjadi dua bagian yang salah satunya aku serahkan kepada Ibu Maryam untuk dikoreksi. Sebuah kertas dengan gambar yang agak sedikit aneh di mata Cika. Sebuah kertas dengan gambar yang artinya tergolong absurd di mata anak-anak seusia Cika. Sebuah kertas dengan gambar yang menggambarkan apa yang sedang aku pikirkan dan aku rasakan pada saat itu dan itu hanya bisa aku wujudkan dengan media sebuah kertas gambar. Sebuah kertas dengan gambar seorang anak laki-laki dan perempuan bergandengan tangan ditambah lambang hati berwarna merah di tengahnya. Sebuah kertas dengan gambar yang berhasil membuatku gagap, berkeringat, resah, panik, ragu-ragu dan tidak bernyali untuk memberikannya kepada Cika.
Awalnya aku berharap Cika tersenyum, sedikit panik dan salah tingkah kemudian memelukkun kesenangan, tapi ternyata tidak. Tidak seperti yang aku bayangkan. Tidak seperti yang sudah aku gambarkan di kepalaku awalnya.
”Ini gambar apa Bud???” Cika bertanya dengan polosnya.
”.....”
”Kok kamu diem sih? Aku tanya, ini gambar apaa??” Cika kembali bertanya.
”.....”
”Ahh.. nyebelin ahhh... ditanyain juga...” Cika jadi semakin jengkel.
”hmmm... itu... hmmm... angin...” Aku gugup. Gugup segugup-gugupnya aku pernah gugup.
”Lah?? Kok aku ga ngerti...” Cika makin bingung. Itu terlihat sekali dari matanya yang sangat ingin tahu itu.
”hmmmm... eh... ini apa yah... ini gambar cowok sama cewek... cowok itu gue, trus cewek itu elu...” Masih gugup segugup-gugupnya aku menjelaskan maksud gambar ini kepada Cika.
Sesaat, aku berubah dari anak laki-laki nakal, cuek dan masa bodoh menjadi anak laki-laki penakut dan bloon. Dan itu karena dia. Dia, Cika, Siska, Fransiska Indonesia yang awalnya saya yang cukup percaya diri memperkenalkan diri, dan sore itu, semua berubah terbalik. Saya gugup, gugup segugup-gugupnya saya pernah gugup.
”Trus... gambar merah ini tuh apa???” Cika kembali bertanya.
”aghrghrghrghrghgrhgrhgrhhhhhh... Cika, kenapa lo polos banget sihhhhh???” Kataku dalam hati.
”hhhmm... ini tuh gambar hati... kalo kata temen gue sih lofe... artinya gue lofe sama elu...” Aku berusaha menjelaskan serasional mungkin supaya Cika mengerti dan tidak bertanya lagi.
”Trus lofe itu artinya apa???” lagi-lagi Cika bertanya.
”hmmmm... itu yah... hmmmm... lofe itu artinya... elu sama gue pacaran...” Damn! Akhirnya aku mengatakan apa sedang yang aku rasakan. Sebuah perkataan yang sangat aku harapkan mudah keluar tapi ternyata sangat sulit. Sebuah perkataan yang seharusnya tiga puluh menit tadi keluar dari mulutku tapi seharusnya juga tidak boleh keluar dari mulut anak umur lima tahun dan masih duduk di bangku TK seperti aku ini. Perkataan yang aku sadari, siapa saja boleh mengeluarkannya. Ini hak manusia untuk berpendapat. Hak manusia untuk berekspresi. Hak manusia untuk memiliki rasa yang ada pada dirinya dan hidupnya.
”Trus... kalo kita pacaran itu bisa kenapa dan ngapain???” Lagi-lagi cika bertanya
Dan kali ini aku tidak tahu lagi harus menjawab apa. Karena aku hanya tahu sampai sebatas lofe dan tidak lebih dari itu. Aku pun memutar otak, dan pada situasi seperti ini aku selalu membayangkan diriku seperti MacGyver yang berusaha mencari solusi setiap dihadapkan sebuah masalah.
”hmmmm... pacaran itu... gini... elu tutup mata deh!!!”
”Trus...???” Cika menutup matanya
”Ya elu rasain aja dan bayangin gimana rasanya dikasih gambar sama gue??” aku makin gugup.
”Gimana cara bayanginnya??” Cika masih terus bertanya dan masih memejamkan matanya.
Cika masih saja bingung. Padahal aku sudah berusaha keras apa maksud aku memberikannya kertas bergambar itu.
Aku makin gugup segugup-gugupnya aku pernah gugup. Padahal aku sudah berusaha keras menyembunyikan kegugupan ini.
Cika masih memejamkan matanya. Kali ini, dia makin terlihat lucu.
Aku mengdekati Cika yang masih memejamkan matanya. Aku berusaha membisikkan di telinganya, karena aku malu mengatakan dan menjelaskan jawaban dari serangan-serangan pertanyaannya dengan suara keras.
”Pacaran itu artinya... hmmm... elu sama gue ga boleh pisah...” aku berbisik.
”Trus??” Cika masih saja mengeluarkan pertanyaan singkat tapi mematikan.
”.....” Aku bingung bercampur gugup.
”Kok diem sih??” Cika makin penasaran.
”.....” Aku makin bingung dan bercampur makin gugup.
“Budi...???” Cika memanggil namaku dan aku hanya diam.
“.....”
Wajahku sangat dekat dengan wajah Cika, dan aku makin berusaha mendekati wajahku dengan wajahnya menjadi lebih dekat, sangat dekat dan sekarang sudah terlalu dekat sampai aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang sangat kencang. Sampai akhirnya bisa kupertemukan bibirku dengan bibirnya. Ya, bibir Cika. Bibir anak perempuan yang berusia lima tahun dan tidak mengerti apa itu arti pacaran tapi aku memperkenalkan dengan sok tahu dan sok tua kepadanya arti dari kata itu. Bibir dari anak perempuan yang sangat pandai menulis syair puisi. Bibir yang sangat hangat, manis dan lembut, sekarang telah melekat dengan bibirku. Dan kejadian itu sangat cepat sama cepatnya Cika kemudian membuka matanya, lebar sekali sambil melotot, kemudian mengecil, dan secara perlahan mengeluarkan air mata yang pelan-pelan berlarian kecil menyusurin pipinya yang putih dan sangat halus itu.
”Eh... udah... kenapa nangis???” Sekarang aku yang jadi kebingungan.
”Hikksss... Hiksss...” hanya suara isak tangis yang sekarang terdengar dan keluar dari mulut berbibir mungil itu.
Aku berusaha menutup mulutnya dengan tanganku.
Cika berusaha juga menangis sekencang-kencangnya.
Aku jadi semakin berusaha menyuruhnya untuk diam dan berhenti menangis. Cika juga semakin berusaha mengeraskan tangisannya dan kini tidak hanya menangis, tapi menjerit dan itu membuatku makin bingung, dan takut. Aku takut Ibu Maryam mendengar suara tangis Cika dan pasti akan memarahiku kalau akhirnya Cika menceritakan apa yang terjadi pada dirinya kepada Ibu Maryam.
”Udah ya Cik... jangan nangis lagi... gue kan ga sengaja cium elu... Aku berusaha menenangkan Cika dan membela diri.
”Hikss... Hikss...” Tangisan itu perlahan-lahan mengecil dan berhenti yang sesekali masih diiringi suara isak.
Aku berusaha menghapus air mata Cika dari pipinya. Aku takut Ibu Maryam akan melihat mata Cika yang menggendut dan merah karena menangis.
”Kenapa elu nangis Cik??” Aku penasaran.
”.....” Cika masih diam dan terisak.
”Cika...”
”Entar kalo aku hamil gimana Bud...” Suara itu keluar dengan polosnya.
”.....” Sekarang aku yang terdiam dan bingung.
”Aku takut... Papa pernah bilang ke aku, katanya pacaran itu cuma boleh dilakuin sama orang dewasa...” Suaranya makin lirih.
”Ya gak mungkin lah... Masa dicium aja bisa hamil...” aku berusaha meyakinkan Cika.
Walaupun pada saat itu aku juga tidak tahu bagaimana caranya membuat seorang perempuan hamil. Tapi aku yakin, kalau ciuman itu tidak akan bisa membuat seorang perempuan hamil.
”Ya udah, sekarang elu mandi gih!! Udah kucel gitu tuh, jelek... hehe” Sambil membangunkannya untuk berdiri.
”Iya deh... Gambar ini beneran buat aku yah?”
”Iya... buat elu... dan kita sekarang pacaran ya??” Aku menganggukkan kepala.
”Iya...” Cika tersenyum dan berlari ke arah kamar mandi.
Kejadian itu yang sampai saat ini masih sangat tersimpan rapi di kepalaku. Kejadian tolol yang pernah aku perbuat kepada seorang anak perempuan polos dan tak tahu apa-apa.
Kejadian yang membuat kami akhirnya kemana-mana selalu bersama. Berangkat ke sekolah, istirahat, pulang dari sekolah, liburan, jalan-jalan dengan Papa-nya Cika, belajar, bermain dan apapun kami selalu lakukan berdua. Kejadian yang setelahnya menjadi sangat indah tapi tidak berlangsung lama sampai akhirnya Cika mengantarkan gambar itu ke rumahku yang pada saat itu, aku sedang tidak ada dirumah. Cika mengembalikan gambar yang pernah aku buat dengan susah payah dan dengan susah payah juga aku menjelaskan kepadanya apa arti dan maksud dari gambar itu. Cika mengembalikan gambar yang pernah menjadi keinginanku kepadanya. Gambar yang seharusnya saat ini masih ada di tangannya. Gambar tentang sepasang anak manusia yang berusaha menggabungkan dua hati jadi satu. Gambar yang harusnya menggambarkan kebersamaan kami pada dunia nyata. Kebersamaan yang aku harapkan bisa terus terwujud sampai kapanpun tapi dikembalikan olehnya dan kemudian pergi tidak tahu kemana. Pergi tanpa pamitan kepadaku, orang yang pernah berjanji akan bersama-sama sampai kapanpun. Pergi tanpa meninggalkan jejaknya sedikitpun hingga saat ini, aku tidak tahu dia ada di mana, hanya ada di kepalaku, di hati ini dan di tulisan ini.
Entah seperti apa dia sekarang, dimana dia saat ini, bagaimana kabarnya hari ini, siapa pacarnya sekarang, aku sama sekali tidak tahu. Aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya, Fransiska I